- -->
Istilah
"sodomi" sering kali menjadi bahan diskusi dalam konteks pelanggaran
moral dan hukum. Meski dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sodomi
didefinisikan sebagai tindakan seksual antara sesama jenis melalui anus atau
hubungan seksual dengan binatang, di Indonesia istilah ini tidak memiliki
pengaturan khusus dalam peraturan perundang-undangan. Namun, perbuatan sodomi
dapat dijerat dengan pasal-pasal terkait pencabulan atau perbuatan asusila,
yang mencakup berbagai jenis tindakan yang melanggar kesusilaan, termasuk yang
dilakukan sesama jenis. Artikel ini akan membahas pengertian sodomi dalam
konteks hukum, sanksi pidana yang dapat dikenakan, serta beberapa contoh kasus
yang relevan.
Pengertian
Sodomi dan Perbuatan Asusila Sesama Jenis
Dalam
KBBI, sodomi memiliki beberapa makna, termasuk pencabulan dengan binatang dan
hubungan seksual anal antara sesama pria. Dalam konteks seksual, sodomi merujuk
pada hubungan yang menyimpang melalui anus, yang dilakukan oleh pasangan yang
berjenis kelamin sama. Meski dalam praktik, istilah ini lazim digunakan untuk
menggambarkan perilaku seksual antara sesama pria, sodomi secara hukum tidak
diatur secara eksplisit dalam hukum pidana Indonesia. Sebaliknya, tindakan ini
lebih sering dikategorikan sebagai pencabulan atau pelanggaran kesusilaan.
Menurut
Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan cabul sesama jenis
antara orang dewasa dan anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi pidana hingga
lima tahun penjara. Pasal ini menitikberatkan pada perlindungan anak di bawah
umur dari tindakan cabul oleh orang dewasa yang mengetahui atau seharusnya
menduga bahwa anak tersebut belum dewasa.
Jerat
Hukum Terkait Sodomi dalam KUHP
Walaupun
sodomi tidak disebut secara langsung dalam KUHP, tindakan ini dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana pencabulan berdasarkan beberapa pasal
terkait kesusilaan. Pencabulan sendiri diatur dalam Pasal 290 KUHP, yang
mencakup perbuatan cabul terhadap orang yang tidak berdaya atau anak di bawah
umur, dengan ancaman pidana penjara hingga tujuh tahun. Dalam UU 1/2023 tentang
KUHP baru, yang akan berlaku penuh pada tahun 2026, ketentuan terkait
pencabulan diperluas dalam Pasal 415, yang menaikkan ancaman pidana menjadi
sembilan tahun penjara.
Penjelasan
Pasal 415 UU 1/2023 mendefinisikan perbuatan cabul sebagai segala bentuk kontak
seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali pemerkosaan. Ini mencakup
tindakan-tindakan seperti menyentuh atau meraba bagian-bagian tubuh yang dapat
menimbulkan rangsangan seksual, baik dilakukan oleh sesama jenis maupun tidak.
Tindakan sodomi, yang sering kali melibatkan kontak seksual anal, secara
otomatis termasuk dalam kategori ini.
Sanksi
Terhadap Sodomi Sesama Jenis
Selain
diatur dalam Pasal 290 dan Pasal 292 KUHP, perbuatan sodomi juga diatur dalam
Pasal 417 UU 1/2023. Meskipun tidak menyebutkan secara langsung tentang pelaku
sesama jenis, pasal ini mengatur perbuatan cabul yang melibatkan anak di bawah
umur dan dilakukan dengan tipu daya atau janji pemberian hadiah. Pelaku yang
melakukan tindakan cabul terhadap anak di bawah umur dapat diancam pidana
penjara hingga sembilan tahun. Ini menunjukkan adanya pengakuan implisit bahwa
tindakan sodomi sesama jenis dapat dikategorikan sebagai perbuatan cabul yang
merugikan anak di bawah umur.
Contohnya,
dalam kasus sodomi antara orang dewasa dan anak, pengadilan dapat menjatuhkan
hukuman berdasarkan Pasal 292 KUHP atau Pasal 417 UU 1/2023. Sebagai tambahan,
sodomi juga dapat dijerat dengan pasal-pasal lain yang melibatkan kekerasan
atau tipu daya dalam melakukan pencabulan, seperti yang diatur dalam Pasal 76E
UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016.
Jerat
Pidana Sodomi dalam UU Perlindungan Anak dan UU TPKS
Bagi
pelaku sodomi yang melibatkan anak di bawah umur, hukum Indonesia memberikan
perlindungan khusus melalui UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (TPKS). Pasal 76E UU 35/2014 dengan tegas melarang siapa pun untuk
memaksa, menipu, atau membujuk anak agar melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul. Jika dilanggar, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
dengan Pasal 82 UU 17/2016, dengan ancaman hukuman penjara hingga 15 tahun dan
denda maksimal Rp5 miliar.
Jika
tindak pidana sodomi mengakibatkan korban mengalami luka berat, gangguan
psikis, penyakit menular, atau bahkan kematian, hukuman bagi pelaku dapat
ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok.
Dalam
UU TPKS, tindakan sodomi juga dianggap sebagai bagian dari tindak pidana
kekerasan seksual. Pasal 6 huruf c UU TPKS mengatur bahwa pelaku yang
memanfaatkan ketidaksetaraan atau kerentanan seseorang untuk melakukan
perbuatan cabul dapat dijatuhi pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda
sebesar Rp300 juta. Dalam hal ini, tindakan sodomi antara orang dewasa dan anak
atau antara sesama jenis dengan cara memaksa dapat dijerat dengan ketentuan UU
TPKS.
Contoh
Kasus Sodomi di Indonesia
Untuk
memberikan gambaran lebih jelas tentang bagaimana hukum Indonesia menangani
kasus sodomi, beberapa contoh putusan pengadilan dapat menjadi acuan. Salah
satu kasus sodomi yang menonjol adalah Putusan Mahkamah Agung No. 115
PK/PID.SUS/2017. Dalam kasus ini, seorang terdakwa dewasa melakukan tindakan
sodomi terhadap anak yang mengakibatkan penderitaan fisik dan psikologis pada
korban. Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali terdakwa dan
memperkuat hukuman penjara yang telah dijatuhkan pada tingkat sebelumnya.
Kasus
lain yang relevan adalah Putusan PN Cianjur No. 394/PID.SUS/2020, di mana
terdakwa melakukan sodomi terhadap seorang anak yang berada di bawah pengaruh
alkohol dan tidak sadar. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara sembilan tahun
dan denda Rp100 juta kepada terdakwa, berdasarkan Pasal 82 ayat (1) UU 17/2016.
Kedua
kasus ini menunjukkan bahwa meskipun istilah sodomi tidak diatur secara
eksplisit dalam hukum pidana Indonesia, pengadilan telah mampu menjerat pelaku
sodomi dengan menggunakan pasal-pasal pencabulan dan perlindungan anak.
Sodomi,
meskipun tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencabulan atau
pelanggaran kesusilaan. Pelaku sodomi, terutama yang melibatkan anak di bawah
umur, dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam KUHP, UU Perlindungan Anak, dan
UU TPKS. Kasus-kasus yang melibatkan sodomi sering kali dijatuhi hukuman berat,
dengan ancaman penjara yang panjang dan denda yang signifikan, terutama jika
korban mengalami dampak fisik atau psikis yang parah.
Dengan
adanya aturan ini, diharapkan masyarakat, khususnya orang dewasa, dapat lebih
memahami batasan-batasan yang diatur dalam hukum terkait perbuatan asusila,
termasuk sodomi, demi melindungi hak-hak anak dan menjaga norma kesusilaan yang
berlaku di Indonesia.
Posting Komentar