- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Tindak Pidana Profesi Notaris Dalam Pemalsuan Akta Autetik- karyahukum

 



Terdakwa dalam kasus ini adalah San smith, S.H selaku Notaris Kota Medan yang yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah turut serta memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik atau memalsukan surat dan oleh karenanya san Smith dituntut JPU dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara. Tuntutan JPU ini didasarkan pada pelanggaran yang dilakukan oleh San Smith selaku Notaris yang bersekongkol dengan salah satu pihak (pihak pembeli) dalam perjanjian jual beli untuk memasukkan suatu keterangan palsu dalam akta otentik yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain (pihak penjual).

Kasus ini berawal dari Dulang Martapa yang sepakat untuk menjual, memindahkan serta menyerahkan 17 (tujuh belas) kavling tanah yang terletak di Komplek Bukit Hijau Regency yang terdiri dari 21 (dua puluh satu) Sertifikat Hak Guna Bangunan serta sebidang tanah seluas 4.269,66 meter persegi berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang terdaftar di Kantor Pertanahan Kota Medan atas nama PT.IRA WIDYA UTAMA dengan Alwijaya. Dulang Martapa bersama Alwijaya membuat Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual beli Nomor 138 pada Tanggal 29 Mei 2008 di hadapan Notaris Roosmidar S.H. Isi akta yang disepakati yaitu tentang batas tanah yang akan dijual, Uang panjar sebesar 2 Milyar yang telah diterima oleh Dulang Martapa, harga tanah, hak dan kewajiban penjual dan pembeli serta lampiran berupa site plan yang ditandai (distabilo) tentang batas-batas tanah yang akan dialihkan oleh Dulang Martapa kepada Alwijaya.

Pembayaran kedua yang jatuh tempo pada tanggal 29 Juni 2008, sebelumnya pihak Alwijaya memberitahukan kepada Dulang Martapa akan mengalihkan transaksi tersebut Kepada PT. Mega Residence. Toni Wijaya selaku pihak dari PT. Mega Residence menghubungi Dulang Martapa untuk menghadap Notaris San Smith untuk menindak lanjuti Akta Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Nomor 138 yang dibuat dihadapan Notaris Roosmidar S.H. Dulang Martapa datang bersama Efrin Jamal Lubis, M. Syahruzal Manurung dan Ade Kurnia Harahap kekantor Notaris San Smith pada tanggal 27 Juni 2008. Toni Wijaya datang bersama Cindy, Refman Basri, Hendra Gunawan dan Sujarni serta bertemu dengan Alwijaya, Saratika Boru Perangin-angin dan Suhartika Agustina Samosir di kantor Notaris San Smith tersebut.

Kedua Pihak membuat Akta Pengikatan Diri untuk melakukan jual beli nomor 165 yang isinya sama dengan Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual Beli Nomor 138 kecuali pihak pembeli, karena pihak pembeli telah dialihkan dari Alwijaya kepada PT. Mega Residence (Pihak Toni Wijaya). Akta berisi hal-hal yang disepakati yaitu untuk 17 (tujuh belas ) kavling tanah seluas 19.210 meter persegi dengan harga sebesar Rp. 1.562.175.-/ meter persegi dengan jumlah harga keseluruhan sebesar Rp. 29.989.073.475,-, sedangkan harga sebidang tanah dengan luas 4.269,66 meter persegi dengan harga Rp. 750.000,- / meter persegi dengan jumlah harga keseluruhan sebesar Rp. 3. 202.245.000,- sehingga total harga adalah sebesar Rp.33.191.318.475.

Dulang Martapa menerima salinan akta dan ternyata setelah beberapa bulan baru disadari olehnya bahwa ada perubahan pada gambar atau site plan tesebut. Perubahan tersebut baru disadari pada tanggal 18 November 2008, dimana pada saat penandatanganan Akta Nomor 165 gambar site plan yang menjadi bats obyek-obyek untuk jual beli sesuai gambar pada Akta Nomor 138. Notaris San Smith dan Toni Wijaya telah bersekongkol untuk menempatkan site plan atau gambar lokasi tanah yang tidak identik atau tidak sama dengan yang disepakati sebelumnya dihadapan Notaris Roosnidar, S.H pada Akta Perjanjian Pendahuluan untuk Jual Beli Nomor 138 dimana site plan sebagai suatu kesatuan dengan akta tersebut. Notaris San Smith menerima site plan dari Henry Trace Lawin selaku karyawan Toni Wijaya.

Dulang Martapa merasa dirugikan baik secara materil dan immateril , dimana telah terjadi selisih luas tanah yang dikuasai oleh Pihak Toni Wijaya seluas 276,34 meter persegi sehingga luas tanah yang dikuasai oleh Toni Wijaya seluas 4.546 meter persegi sedangkan yang dijual oleh Dulang Martapa seluas 4.269,66 meter persegi. Penguasaan dilakukan dengan pihak Toni Wijaya dengan cara memagari dan membuat pagar seng di atas tanah tersebut. Akta Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual Beli Nomor 165 tanggal 27 Juni 2008 selaku akta otentik yang dibuat oleh Notaris San Smith mengabaikan site plan, Akta Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Nomor 138 tanggal 29 Mei 2008 dimana tanda dengan stabilo warna kuning berubah yang telah menimbulkan kerugian pada Dulang Martapa. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan laboratorium kriminalistik No. Lab: 3686/DTF/IX/2009 tanggal 7 September 2009, dengan kesimpulan ketidakwajaran dokumen yaitu penambahan area yang distabilo warna kuning. Dulang Martapa meminta pengembalian sisa tanah yang dikuasai oleh Toni Wijaya tetapi tidak diberikan. Ia meminta Notaris San Smith untuk mengubah site plan kepada bentuk yang aslinya tetapi tidak dikabulkan oleh San Smith. Ia kemudian meminta BPN untuk meninjau ke lapangan untuk mengukur ulang tetapi tidak diberikan masuk oleh pihak Toni Wijaya. Akhirnya ia melapor ke Poltabes Medan karena merasa telah dirugikan dengan menganggap telah adanya kerja sama antara Notaris San Smith dengan pihak Toni Wijaya untuk mengubah site plan sehingga berberda dengan yang diuat sebelumnya di hadapan Notaris Roosmidar S.H.

Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Dulang Martapa ke Poltabes Medan, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) memanggil, memeriksa dan melakukan persidangan terhadap Notaris San Smith. MPD menemukan adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Notaris dan memberi izin kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan. Notaris San Smith diperiksa dan diadili pada Pengadilan Negeri Medan dengan perkara register nomor 3036/Pid.B/2009/PN.Mdn tertanggal 4 Januari 2010 dan atas putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut Notaris San Smith mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan Perkara Register Nomor 82/PID/2010/PT-MDN tertanggal 25 Februari 2010.

     Analisis Kasus

Akta merupakan perjanjian para pihak dan mengikat para pihak yang melakukan perjanjian, di dalam minuta akta ditemukan ada pihak-pihak yang tidak berkepentingan dalam akta dan ikut menandatangani akta tersebut. Seharusnya Notaris mengerti kewajibannya dan tidak membiarkan orang lain ikut menandatangani akta. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya apabila terbukti melakukan tindak pidana. Akibat hukum bagi Notaris yang melanggar kewajibannya dari segi administrasi UU No. 30 Tahun 2004 adalah akta Notaris bisa dibatalkan dan dianggap tidak otentik akta itu bisa sebagai akta di bawah tangan. Ahli Syafnil Gani, SH, M.Hum. memberikan keterangan bahwa dalam hal Notaris diperiksa oleh MPD atau MPW dan ternyata terdapat kesalahan jabatan Notaris, maka Notaris tersebut dikenakan sanksi administrasi yang diatur dalam UUJN.

Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para pihak harus diselesaikan secara hukum perdata. Seharusnya jika dilakukan prosedural dalam pembuatan akta maka tidak akan terjadi kesalahan dalam pembuatan akta. Notaris yang melakukan kesalahan dalam pembuatan akta yang diatur dalam UUJN merupakan suatu pelanggaran dan akibat hukum bagi Notaris tersebut adalah akta tersebut menjadi akta di bawah tangan.

Dasar dalam menjatuhkan hukuman pidana yang memenuhi perbuatan melawan hukum yang ada di KUHPidana seperti diatur dan diancam pada Pasal 266 ayat 1 KUHPidana jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana yaitu :

1. Dalam rumusan Pasal 263 ayat 1 KUHPidana “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutangatau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benardan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karna pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

2. Dalam rumusan Pasal 264 yaitu pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun jika dilakukan terhadap akta otentik.127 c. Tindak pidana pada Pasal 263 dan 264 di juncto kan dengan Pasal 55 ayat ke 1 KUHPidana yaitu dihukum orang yang melakukan peristiwa pidana yaitu orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu.128 d. Pasal 55 ayat 1 KUHPidana menurut Moeljatno adalah dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana yaitu mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.129 Majelis hakim setelah mendengar dakwaan, replik dan tuntutan jaksa penuntut umum, mendengarkan keterangan saksi saksi, ahli, dan terdakwa, memperhatikan barang bukti.

Dasarnya mengacu pada ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyebutkan unsur-unsur dalam ketentuan Pasal ini terpenuhi dengan cara Terdakwa bersama-sama (turut serta) dengan Toni Wijaya untuk bersekongkol membuat akta otentik yang isinya seolah-olah sesuai dengan kenyataan / kebenaran. Perbuatan dilakukan dengan sengaja dengan maksud akta tersebut dapat dipergunakan (Tony Wijaya) untuk memperoleh luas tanah yang tidak sesuai dengan kesepakatan / ikatan jual beli sebagaimana merugikan orang lain sebagaimana ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pasal 266 KUHPidana yang berbunyi „Barang siapa yang menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah akta itu asli, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Diancam dengan pidana yang sama barang siapa memakai akta tersebut seolah-olah isinya benar jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Unsur-unsur yang terpenuhi dalam Pasal 266 KUHPidana :

1.     Barang siapa

2.     Menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik

3.    Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu sesuai dengan kebenaran

4.     Pelakunya :

a.Mereka yang melakukan

b.Mereka yang menyuruh melakukan.

c.Mereka yang turut melakukan.

Keempat unsur dalam Pasal tersebut terpenuhi, yaitu :

1.Barang siapa dalam hal ini adalah terdakwa San Smith sebagai Notaris.

2.Terdakwa telah menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik, dalam hal ini tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan dan berhubungan dengan ini maka unsur ini telah terbukti.

3. Dengan maksud menyuruh orang lain untuk menggunakan akta seolah-olah akta itu benar, dalam hal ini unsur ini sudah terbukti karena adanya penambahan luas tanah pada gambar site plan maupun Akta Nomor 165 dengan sengaja dilakukan oleh Terdakwa.

4.  Merugikan orang lain, dan unsur ini telah terbukti karena dalam hal ini Dulang Martapa telah mengalami kerugian karena tanahnya telah diambil melebihi dari yang diperjanjikan sebagai akibat adanya akta Nomor 165 yang dibuat oleh terdakwa secara tidak benar .

Dalam hal Penerapan sanksi sebagai tanggung jawab hukum Notaris dalam menjalankan profesinya digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu:

1.  Tanggung jawab hukum Perdata

Apabila Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1234 KUHPdt atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata;

2. Tanggung jawab Hukum Pidana

Apabilaa Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai menimbulkan kerugian pihak lain. 

Dalam aturan hukum tertentu, disamping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat comdennatoir (punitif) atau menghukum. Oleh karena UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN, sehingga apabila terjadi pelanggaran hukum pidana maka terhadap Notaris tunduk dan berlaku tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila Notaris melakukan penyimpangan sebuah akta yang dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana, maka Notaris harus mempertanggungjawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.

Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu. Pada prinsipnya penggunaan sanksi pidana/pemidanaan itu merupakan sanksi terakhir (ultimum remidium) , apabila peringatan/sanksi yang diberikan sebagai upaya pencegahan tidak dapat menanggulangi/ mengatasi suatu perbuatan melawan hukum baik yang dilakukan secara sengaja (dolus) maupun karena kelalaian (culpa).

Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam UUJN, namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. Hal tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (actus non facit reum nisi mens sitrea), artinya orang tidak mungkin diminta pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Namun seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dapat dipidana apabila dia tidak mempunyai kesalahan. Prosedur penerapan sanksi pidana berupa putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tertentu sebagaimana putusan di atas, menunjukkan pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana penjara sebagaimana di atur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan itu, dan perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum baik formil maupun materiil. Dalam prespektif UUJN, maka perbuatan yang dilakukan oleh Notaris tersebut dimulai dari tidak diperhatikannya aturan hukum/ perundangan-undangan yang berlaku yang terkait dengan tata cara pembuatan akta otentik sebagaimana yang diisyaratkan dalam ketentuan UUJN dan pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris.

Ketentuan yang dimaksud adalah kewajiban dan larangan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 17 serta Kode Etik Notaris dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Suatu perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam jabatannya, memang selalu didahului dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan dan kode etik baik yang tercantum dalam ketentuan Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN dan Pasal 3 dan Pasal 4 Kode Etik Notaris.

Hal ini dapat dilihat dari perkara/kasus Notaris San Smith, SH., perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan tersebut didahului dengan pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris antara lain : (1) Pasal 16 ayat (1) huruf a yaitu bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. (2) Pasal 48 ayat (1) yaitu isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Disamping itu melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris Pasal 3 angka (1) dan angka (4) dan Pasal 4 angka 15. Prespektif Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), sebenarnya perbuatanperbuatan yang telah dilakukan baik oleh Notaris San Smith, diatur dengan jelas dalam ketentuan Pasal 84 dan disebutkan sebagai suatu bentuk pelanggaran, sedangkan sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran tersebut diatur pada ketentuan Pasal 85 UUJN tersebut antara lain teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris juga mengatur mengenai sanksi terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut diberi sanksi tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya diakui mempunyai kekuatan sebagai akta di bawahtangan.

Terjadinya pemidanaan /penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang dalam jabatannya berwenang membuat akta, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta sebagaimana diatur dalam UUJN, sebenarnya telah terjadi kesalahpahaman atau bentuk penafsiran terhadap kedudukan dan kewenangan seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik sebagai alat bukti dalam hukum perdata. Bisa saja terjadi pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris tersebut memenuhi unsur-unsur dalam suatu tindak pidana, namun perbuatan yang dilakukan itu bukan merupakan pelanggaran berdasarkan UUJN setelah melalui prosedur mekanisme pemeriksaan dan penilaian Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas Pusat (MPP). Apalagi dalam UUJN maupun Kode Etik Notaris tidak menyebutkan secara tegas dan jelas khususnya mengenai bagaimana sanksi yang dijatuhkan kepada Notaris, yang telah dijatuhi pemidanaan melalui putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Hal ini memungkinkan terjadinya konflik kepentingan mengingat pada putusan hakim tersebut tidak terdapat penjatuhan sanksi pidana tambahan atau dalam prateknya putusan yang menjatuhkan sanksi pidana/ pemidanaan terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum tidak diketemukan adanya sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak seorang Notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Sebenarnya ukuran/batasan ada/tidaknya perbuatan melawan hukum oleh Notaris tersebut dimulai dengan pemeriksaan ada/tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam UUJN. Hal tersebut dapat dianggap penting karena ada kemungkinan menurut ketentuan UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan cara/prosedur UUJN tetapi disisi yang lain disebutkan perbuatan/pelanggaran tersebut merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana oleh aparat penegak hukum.

Batasan-batasan yang dimaksudkan dalam penjatuhan pidana kepada Notaris antara lain sebagai berikut :

1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan tindak pidana;

2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN;

3.  Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Penjatuhan sanksi terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan tersebut diatas dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris, juga harus memenuhi rumusan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).

Seorang Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban secara pidana terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, tidak disebutkan pertanggungjawabkan secara perdata berupa penggantian kerugian yang diderita oleh para pihak maupun pertanggungjawaban administrasi. Namun seharusnya pemberian ganti rugi juga sangat perlu diberikan kepada pihak-pihak yang menderita kerugian sebagai bentuk rasa adil dan perlindungan hukum akibat adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik.

 

     Kesimpulan

Dari uraian Analisis terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Prfesi Notaris yaitu Pemalsuan Akta Autentik dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Aspek hukum pidana atas akta otentik yang memuat keterangan palsu meliputi tindak pidana pemalsuan keterangan dalam akta otentik seperti yang tertera pada Pasal 266 KUHP, unsur- unsur tindak pidana pemalsuan keterangan dalam akta otentik dan ancaman hukuman bagi Notaris yang memuat keterangan palsu dalam akta otentik.

2. Perbuatan Notaris yang dapat dikategorikan sebagai menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik yaitu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris yang didalamnya memuat unsur-unsur yang dapat dikategorikan menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik, jenis dan bentuk pemalsuan keterangan dalam akta otentik.

3. Dasar pertimbangan hukum yang dipakai adalah Pasal 266 KUHP yang dimana unsur daam Pasal tersebut terpenuhi yaitu dengan cara bersama-sama (turut serta) dengan Tony Wijaya untuk bersengkongkol membuat akta otentik yang isinya seolah-olah sesuai dengan kenyataan/ kebenaraan. Perbuatan ini dilakukan dengan sengaja dengan maksud akta tersebut akan dapat dipergunakan (Tony Wijaya) untuk memperoleh luas tanah yang tidak sesuai dengan kesepakatan/ikatan jual beli sehingga merugikan orang lain sebagaimana ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP.

Posting Komentar

Posting Komentar