- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Teori Kewenangan - Karyahukum


Teori merupakan satu proses penalaran atau lebih yang sistematik mengenai suatu kejadian dan disimpulkan, yang kemudian dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian tersebut atau peristiwa lain yang serupa, atau kumpulan pernyataan yang berkaitan secara sistematis. Teori juga diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh dari tulisan-tulisan dan/atau dokumen - dokumen yang disertai dengan pengalaman empiris sebagai landasan berfikir lebih lanjut tentang suatu masalah yang hendak diteliti.

Teori selalu menggunakan kerangka berfikir yang sistematis, rasional, nyata, serta simbolis dalam menjelaskan suatu fenomena. Terkadang teori yang ada dapat berbeda dengan praktik kenyataan yang ada. Meskipun demikian, teori memang dipahami tidak selamanya selalu sama dengan fakta. Dengan kata lain das sollen dengan das sein tidak selalu sejalan, dan bahkan terkadang bertentangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori itu pada dasarnya merupakan “penjelasan secara konseptual yang logis dan empiris tentang suatu fenomena”.

Jonathan H.Tunner mengemukakan bahwa teori-teori dibangun sebagai suatu ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut :

1) “Mengklasifikasikan dan mengorganisasikan suatu peristiwa sehingga dapat disesuaikan berdasarkan perspektif tertentu.

2) Menjelaskan sebab terjadinya suatu peristiwa yang lampau dan menggambarkan kapan, dimana dan bagaimana peristiwa yang mungkin akan terjadi.

3) Menjabarkan pengertian dasar, serta memberikan jawaban dari pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu peristiwa.”

Menurut J. Michael, and Allan HK Yuen, “Teori adalah prinsip-prinsip umum yang dapat diterima secara ilmiah untuk menjelaskan adanya fenomena atau hipotesis yang diasumsikan demi tujuan penyelidikan dan pengujian.” Siti Rahayu Haditono, mengutip Mark dalam Sugiyono menjabarkan tiga macam teori yaitu :

a)      “Teori deduktif, yaitu teori yang menjelaskan secara konseptual  suatu peristiwa mulai dari sangkaan atau spekulatif kemudian divalidasi dengan makna aslinya.

b)      Teori induktif, yaitu teori yang menekankan pada fakta (empiris) yang digeneralisasi.

c)      Teori fungsional, yaitu teori yang bersinggungan atau berkaitan dengan data yang mempengaruhi terbentuknya teori, dan juga sebaliknya terbentuknya teori dipengaruhi oleh data.”

Dalam bidang yang sangat dinamis seperti ilmu sosial, pengujian teori tidak dapat dihindari. Secara umum, terdapat dua ciri dari, yaitu :

1) Setiap teori merupakan penggambaran awal dari suatu peristiwa, bersifat terbatas.

2)  Semua teori adalah buatan manusia. Sehingga bersifat relatif dan bergantung pada perspektif dari sifat peristiwa yang diamati, pecipta teori, serta unsur seperti tempat, waktu, ataupun kondisi lingkungan di sekitarnya.

Teori-teori berfungsi untuk mengklarifikasi masalah yang diteliti sebagai landasan dalam merumuskan sebuah hipotesis. Selain itu teori juga bisa dijadikan sebagai referensi dalam menyusun instrumen penelitian. Teori juga dapat digunakan sebagai kerangka dalam pengerjaan penelitian, terlebih untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penghimpunan data yang tidak sesuai. Adapun manfaat-manfaat teori antara lain :

1)      Memberi penjelsan guna memahami dan memperkirakan terjadinya perubahan sosial.

2)      Mempermudah dalam menemukan jawaban tentang mengapa dan bagaimana suatu peristiwa dapat terjadi.

3)      Merupakan deskripsi secara singkat atau gambaran tentang fakta-fakta suatu hal yang telah diuji dan dipelajari.

4)      Sebagai petunjuk dalam melengkapi kekurangan-kekurangan dalam memperdalam pengetahuan.

5)      Mempertajam atau mengkhususkan (eksklusif) terhadap fakta yang dipelajari.

6)      Petunjuk dalam memperluas sistem klasifikasi fakta, memperbaiki struktur konsep-konsep serta definisi-definisi dalam penelitian.

Glaser dan Strauss menjelaskan bahwa teori berfungsi untuk :

a)      Memberikan kesempatan untuk meramalkan dan menjelaskan perilaku.

b)      Bermanfaat untuk menemukan teori sosiologi.

c)      Memberikan perspektif dalam pengumpulan dari data yang sesuai.

  1. Teori Kewenangan

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Wewenang dijelaskan sebagai suatu hak Badan atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara dalam mengambil suatu keputusan/tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian dijelaskan juga pengertian dari kewenangan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 6, yang menyatakan bahwa kewenangan adalah kekuasaan Badan/Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara untuk bertindak dalam ranah hukum publik.

Secara umum kewenangan diartikan sebagai bagian dari kekuasaan. Adapun tujuannya yaitu untuk menjalankan tugas pemerintahan dalam suatu bidang. “Kekuasaan” dan “Wewenang” merupakan istilah yang erat kaitannya dengan  Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, tepatnya dalam melaksanakan fungsi pemerintahan.

Prajudi Atmosudirdjo membedakan antara wewenang dan kewenangan  sebagai berikut :

“Kewenangan merupakan suatu kekuasaan formal yang diberikan oleh badan legislatif melalui UU dan/atau dari badan administratif (eksekutif). Kewenangan yang di dalamnya terdapat satu wewenang atau lebih biasanya merupakan kekuasaan yang ditujukan bagi suatu golongan tertentu atau kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau terhadap sesuatu bidang pemerintahan dalam lingkup urusan tertentu. Sedangkan wewenang hanya menyangkut bagian-bagian tertentu saja. Kewenangan dapat berisi satu atau lebih wewenang. Wewenang merupakan kemampuan yang diberikan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum publik. Contohnya   seorang pejabat dalam menandatangani atau menerbitkan surat-surat izin atas nama menteri.”

Kewenangan dijalankan oleh suatu kekuasaan. Kemampuan untuk dapat melakukan tindakan hukum tertentu dengan konsekuensi hukum, yang disertai hak-hak untuk melakukan atau tidak melakukan, dan/atau menuntut pihak lain untuk melakukan suatu tindakan hukum tertentu. Setiap lembaga memiliki wewenang yang sah yang bersumber dari undang-undang ataupun konstitusi. Adapun tata cara pelaksanaan wewenang tersebut juga diatur dalam undang-undang tersebut. Sejalan dengan pengertian dan konsep tersebut, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara  wewenang dan kewenangan. Baik wewenang ataupun kewenangan, keduanya diartikan sebagai wewenang yang berdasarkan deskripsi dalam kekuasaan hukum.”

Di sisi lain, terdapat pandangan yang berbeda yang menyatakan bahwa  kewenangan tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan atau tidak berbuat, sedangkan wewenang mengandung hak dan kewajiban. Menurut H. D. Laswell dan A. Kaplan, “wewenang atau otoritas adalah kekuasaan formal. Setiap pemegang wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah, membuat peraturan-peraturan, maupun menghendaki adanya kepatuhan terhadap peraturan tersebut.”

Menurut P. M. Hadjon, bahwa “wewenang sebagai suatu konsep dalam hukum publik, setidaknya terdiri atas tiga komponen, yakni :

1)        Influence / effect, yaitu pengaruh atau dampak dari wewenang yang digunakan terhadap subjek hukum.

2)        Legalitas, yaitu adanya dasar hukum atas pemberian wewenang tersebut.

3)        Konformitas hukum, yaitu standar mengenai jenis dan kekhususan suatu wewenang tertentu.”

Dari berbagai pengertian wewenang di atas, maka dapat diartikan bahwa wewenang adalah sebagai dasar hukum penguasa dalam bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan undang-undang. Kewenangan harus diatur dan ditetapkan secara jelas dengan dalam suatu peraturan perundangan-undangan. Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa, bahwa dasar kewenangan penguasa setidaknya harus ada dalam suatu undang-undang formal yang diselenggarakan oleh parlemen yang mewakili suara rakyat, sehingga kewenangannya tersebut diakui oleh masyarakat jika dalam kewenangannya tersebut menyangkut kepentingan masyarakat.

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa wewenang pemerintahan dapat diperoleh melalui dua cara utama, yakni Atribusi dan Delegasi. Adapun Mandat seringkali ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. Secara umum atribusi didasarkan pada pembagian kekuasaan oleh konstitusi. Sedangkan delegasi dan mandat merupakan kewenangan yang pelimpahannya dilakukan oleh suatu lembaga tinggi pada lembaga di bawahnya. Mengenai atribusi, mandat, dan delegasi, telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 22, 23, dan angka 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebagai berikut :

a)      Menurut Pasal 1 angka 22 UUAP, Atribusi diartikan sebagai pemberian kewenangan pada badan/Pejabat Pemerintahan oleh konstitusi (UUD 1945) dan/atau Undang-Undang.

Kata Atribusi berasal dari bahasa latin “ad tribuere” yang berarti “memberikan kepada”. Atribusi merupakan suatu cara yang umum dalam memperoleh wewenang oleh pemerintah. Pemberian wewenang dilakukan secara langsung melalui undang-gundang dan disebut juga sebagai wewenang asli. Dapat dilaksanakan sesuai keinginan sendiri pemilik wewenang kapanpun diperlukan. Wewenang tersebut juga bisa diperluas dengan memberikan wewenang baru pada lembaga dibawahnya. Adapun tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab penerima wewenang sepenuhnya.

 

b)  Menurut ketentuan Pasal 1 angka 23 UUAP, Delegasi diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari badan/pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan yang berada di bawahnya dengan disertai peralihan tanggung jawab dan tanggung gugat sepenuhnya.

Kata Delegasi memiliki arti “melimpahkan”, yang berasal dari bahasa latin “delegare”. Kewenangan delegasi bersumber dari pelimpahan kewenangan oleh peraturan yang lebih tinggi ke peraturan yang lebih rendah, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tidak. Dalam hal ini tidak dikenal adanya penciptaan wewenang baru, tetapi pelimpahan wewenang dari satu pejabat ke pejabat lainnya.

c)   Menurut Pasal 1 angka 24 UUAP, memberikan definisi dari Mandat yaitu pelimpahan wewenang dari badan/pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, tetapi tanggungjawab adalah tetap berada pada si pemberi mandat.

Dalam Mandat tidak dikenal adanya pembuatan kewenangan baru maupun pengalihan kewenangan. Melainkan penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, dan konsekuensi atas tindakan mandataris merupakan tanggungjawab pemberi mandat. Mandat dijalankan oleh pejabat yang secara hierarkis bukan pejabat di bawah pemberi mandat. Hal ini dapat dilakukan jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Adanya penerima mandat atau Mandataris yang bersedia menerima mandat.

2) Kewenangan yang dimandatkan merupakan bagian dari wewenang mandataris.

3) Tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.

Melihat bentuk-bentuk pelimpahan atau cara memperoleh wewenang di atas. Maka sangat penting untuk dilakukan pembatasan atas wewenang yang dilimpahkan pada suatu badan atau orang. Pelaksanaan wewenang dibatasi oleh undang-undang, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa wewenang Badan/Pejabat pemerintahan dibatasi oleh :

a)      Masa atau tenggang waktu pelaksanaan wewenang;

b)      Lingkup wilayah keberlakuanya; dan

c)      Lingkup bidang/materi wewenang.

  1. Lembaga Negara

Lembaga negara adalah sebagai alat kelengkapan negara untuk menjalankan tugas dan fungsi dari kekuasaan berdasarkan UU dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Lembaga negara memiliki fungsi untuk mengatur struktur ketatanegaraan, hubungan lembaga dengan warga negara, serta hubungan antara lembaga negara.

“Istilah lembaga negara pertama kali dikenal dalam TAP MPRS No. XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Adhoc MPRS Yang Bertugas Melakukan Penelitian Lembaga-Lembaga Negara, dan TAP MPR Nomor : VI/ MPR/ 1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Istilah tersebut kemudian digunakan kembali ketika Perubahan UUD 1945. Sebperti dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) tantang pengaturan alah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu untuk memeriksa dan memutus sengketa lembaga negara yang kewenangannya berasal dari Undang-Undang Dasar.”

Secara umum ada tiga jenis lembaga negara, yakni : eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang merupakan lembaga negara utama  atau main state organ. Disamping itu ada juga lembaga negara independen atau lembaga pembantuan yang disebut juga auxiliary organ. Pembedaan ini menunjukkan bahwa yang pertama (main state organ), merupakan lembaga yang penting dalam ketatanegaraan modern sehingga perlu diatur dalam konstitusi. Sedangkan auxiliary organ, meskipun sama pentingnya sebagai lembaga, namun pengaturannya dalam konstitusi masih bersifat relatif.

Pembentukan dan pemberian wewenang bagi Auxiliary organ diatur oleh UU, PP atau bahkan Keppres dengan beragam bentuk kelembagaan, seperti dewan, badan, lembaga, serta ada yang berbentuk komisi. Lembaga-lembaga tersebut berperan penting untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan negara. Beberapa lembaga pembantuan meskipun kewenangannya dibentuk dan diatur oleh peraturan perundang-undangan lainnya, tetapi di dalamnya juga terdapat kewenangan konstitusional. Ada 8 (delapan) lembaga negara yang menerima secara langsung kewenangan konstitusional dari UUD 1945, yaitu :

1)      Dewan Perwakilan Rakyat

2)      Dewan Perwakilan Daerah

3)      Majelis Permusyawaratan Rakyat

4)      Badan Pemeriksa Keuangan RI

5)      Presiden dan Wakil Presiden

6)      Mahkamah Agung

7)      Mahkamah Konstitusi, dan

8)      Komisi Yudisial.

Lembaga negara, oleh Bagir Manan terbagi atas tiga jenis, yang diantaranya :

1)      Lembaga yang menjalankan fungsi negara secara langsung dan bertindak atas nama negara, disebut juga dengan Alat Kelengkapan Negara. Diantaranya Presiden dan Wakil Presiden, DPR serta Kekuasaan Kehakiman.

2)      Lembaga yang menjalankan fungsi administratif, tetapi tidak berwenang untuk bertindak dan atas nama negara.

3)      Lembaga penunjang atau State auxiliary organ, yaitu lembaga yang berfungsi sebagai penunjang atau pembantu pelaksanaan tuga lembaga yang sudah ada sebelumnya.

Lembaga negara utama memiliki ciri khusus, yaitu fungsinya yang dijalankan dari tiga cabang-cabang kekuasaan negara, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pengaturannya dalam konstitusi sebagai penyelenggara negara yang menjalankan fungsi utama penyelenggaraan negara. Sedangkan lembaga pembantuan memiliki ciri sebagai penunjang (pembantuan) dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan negara oleh lembaga negara utama. Akan tetapi pada dasarnya mereka dibentuk dengan tujuan untuk mencapai tujuan nasional negara meskipun dasar hukum pembentukan lembaga negara bantu bersifat variatif, ada yang dibentuk secara langsung oleh konstitusi, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Menurut John Alder, bahwa secara umum lembaga-lembaga negara penunjang memiliki fungsi sebagai sebuah lembaga semi pemerintahan dunia dan bersifat lembaga non depatemen, berotoritas tunggal, dan lembaga campuran publik dan swasta. Kekuasaan Auxiliary State’s Organ bersifat semi pemerintahan dengan fungsi tunggal dan campuran. Beberapa dari lembaga-lembaga tersebut ada yang bersifat permanen dan tidak permanen (ad hoc) yang pembentukannya dapat bersumber dari konstitusi ataupun undang-undang.

Sederhananya lembaga negara utama dan lembaga negara penunjang memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut :

a.       Kriteria Lembaga Negara utama atau Main State’s Organ, yakni :

1) Menjalankan fungsi utama penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

2)      Dasar hukum berupa Konstitusi.

b.      Kriteria Lembaga Negara Utama atau Auxiliary State’s Organ, yaitu :

1)      Dibentuk untuk membantu pelaksanaan tugas lembaga negara utama yang semakin kompleks.

2) Dasar pembentukannya bersifat variatif, yakni dapat berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undang lainnya.

3)      Bersifat eksekutif dan independen.

Umumnya, lembaga negara adalah substansi dalam konstitusi. Tetapi karena ketidakluwesan dalam amandemen konstitusi serta semakin kompleksnya kebutuhan kenegaraan mengakibatkan perlunya dibentuk suatu  lembaga negara lain diluar konstitusi. Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa untuk menentukan suatu institusi sebagai lembaga negara atau bukan, adalah dengan melihat pada ruang lingkup fungsi dari keberadaannya sebagai subyek hukum kelembagaan. Suatu lembaga dikatakan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jika lembaga itu memiliki kepentingan untuk menjalankan pemenuhan hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat. begitu juga denggan lembaga yang ada di lingkup dunia usaha yang organnya ditujukan dalam dunia usaha. lembaga yang dibentuk selain dari keduanya tentunya merupakan lembaga negara.

Batasan-batasan keabsahan wewenang pemerintahan didasarkan pada legalitas formal. Adapun yang dimaksud dengan legalitas formal yaitu meliputi wewenang, prosedur, dan legalitas material yang berkaitan dengan tujuan diberikannya wewenang sesuai dengan asas rechtmatigheid van bestuur. Kemudian mengenai pembentukan lembaga penunjang, pada dasarnya memiliki bentuk yang berbeda dengan lembaga negara utama. Tujuan dan pelaksanaan tugas pembantuan penyelenggaraan negara oleh lembaga negara utama yang diatur dalam konstitusi. Kewenangan yang dimiliki bersifat derivatif dari lembaga negara permanen.

  1. Kegunaan Teori Kewenangan dalam Pembentukan Lembaga Baru

Negara Indonesia memiliki lembaga-lembaga negara dalam ranah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Aspek penting keberlangsungan suatu lembaga negara bukan terletak pada jumlah lembaga, melainkan kualitas  dan kredibilitas dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan wewenang yang diberikan.

Dasar pembentukan setiap lembaga negara berbeda-beda. Ada lembaga yang dasar pembentukannya adalah konstitusi, undang-undang, ataupun hanya melalui keputusan presiden. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan lembaga-lembaga independen tersebut didasarkan pada isu-isu yang berkaitan langsung, tergantung suatu peristiwa tertentu, dan dikhususkan untuk menyelesaikan isu yang dihadapi. Tidak ada tolok ukur kesamaan untuk membentuk independensi, kedudukan, dan ruang lingkup kewenangan lembaga-lembaga tersebut. Secara umum, pembentukan lembaga-lembaga independen di Indonesia didasarkan pada hal-hal penting, diantaranya :

1)      Ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya disertai asumsi (dan bukti) terjadinya korupsi di dalam lembaga terkait.

2)      Adanya intervensi oleh kekuasaan yang lain di luar lembaga.

3)      Banyaknya permasalahan di lingkup internal maupun eksternal lembaga sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugasnya.

4)      Desakan dari lembaga-lembaga internasional dan pengaruh global sehingga mengharuskan dibentuknya lembaga baru yang dianggap dibutuhkan untuk memperbaiki dan membantu lembaga-lembaga yang telah ada.

Tingkatan kelembagaan yang ada di tingkat pusat, terdiri dari empat tingkatan sebagai berikut :

1)      Lembaga yang dibentuk oleh UUD dan diatur lebih lanjut dalam UU, PP, PerPres, dan KepPres.

2)      Lembaga yang dasar hukum pembentukannya berupa UU dan diatur lebih lanjut dalam PP, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden.

3)      Lembaga yang dibentuk dari Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

4)      Lembaga negara yang dibentuk melalui Peraturan Menteri dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah menteri.

Pembentukan lembaga baru yang bersifat independen di latar belakangi oleh  ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada dalam menjalankan tugas-tugasnya. Baik karena persoalan internal maupun eksternal.  Sehingga pembentukan lembaga negara baru menjadi perlu, demi terwujudnya demokrasi dan negara hukum sesuai dengan tujuan konstitusi. Saat ini belum memungkinkan untuk dilakukan pembentukan lembaga negara utama (Main States Organ), sebaliknya yang memungkinkan adalah membentuk lembaga baru yang independen yang bersifat pembantuan  atas lembaga negara utama yang telah ada sebelumnya. Meski demikian, tolak ukur relevan atau tidaknya untuk dibentuk lembaga independen sangat tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

1)      Urgensi dan tugas khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi oleh lembaga struktural dan harus dilaksanakan secara independen.

2)      Efektifitas lembaga non struktural dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Apakah lembaga non struktural benar-benar mampu membantu dan mendukung terwujudnya tugas lembaga struktural.

3)      Efisiensi dalam hal pendanaan. Perlu dilihat apakah dana yang dikeluarkan sesuai dengan beban tugas lembaga nojn struktural, baik secara kualitas maupun kuantitas.

4)      Harus mempertimbangkan keberadaan lembaga-lembaga non struktural lain yang sudah ada agar tidak terjadi duplikasi atau tumpang tindih tugas dan wewenang yang dapat menimbulkan inefektifitas tugas dan fungsi.

Teori-teori mengenai kewenangan serta cara memperoleh kewenangan, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya menjadi referensi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana yang kemudian diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan, yang mengatur ketentuan mengenai cara perolehan kewenangan melalui Atribusi, Delegasi, dan Mandat.

Pembedaan jenis-jenis kewenangan tersebut menjadi penting, terutama dalam hal pembentukan lembaga-lembaga negara baru, termasuk lembaga negara independen. Keberadaan lembaga negara independen akan efektif untuk mendukung terselenggaranya good governance. Mengingat sifatnya yang  independen dan otonom sehingga dapat mengakomodasi dan menjaga interaksi yang proporsional antara ketiga aktor pemerintahan, yaitu: pemerintah (government), sektor swasta (private sector), dan masyarakat (society).


Posting Komentar

Posting Komentar